Pendidikan
dan Kesehatan, Bibit Kemajuan dan Kesejahteraan.
Problematika
yang terlihat di masyarakat Indonesia dalam kaca mata saya sangatlah banyak.
Bukannya tanpa alasan, namun pengalaman dan fakta yang ada membawa saya untuk
menarik kesimpulan ini. beberapa waktu lalu, saya mengantarkan ibu untuk
periksa mata dan darah karena beliau terkena katarak dan diabetes, untuk
mendapatkan operasi gratis kami menggunakan BPJS. Pertama kali datang di rumah
sakit daerah, pagi, sudah ratusan orang yang mengantri, banyak orang sakit,
dari anak-anak hingga lansia beramai antri untuk berobat, banyak yang
menggunakan BPJS, Askes, dsb lantaran demi mendapatkan pengobatan gratis atau
murah. Hanya sedikit orang yang ‘berwajah Cina’ antri dalam barisan layanan
pengobatan murah, dan ketika adapun, mereka membayar, dan diprioritaskan pelayanannya
tanpa mengantri berjam-jam.
Masyarakat
yang miskin dan sakit, betapa menyedihkannya hal ini. setiap kali datang, rumah
sakit tidak pernah sepi, bahkan bertambah saja orang sakit. Ketika melewati
klinik pengobatan atau rumah sakit swasta yang tidak mencantumkan BPJS atau
Askes, terlihat sepi. Masyarakat sudah tahu, biaya untuk berobat tidaklah
sedikit, dan banyak yang memilih untuk membiarkan sakitnya menggerogoti, karena
pendapatan dari hasil kerja akan memakan uang gaji yang cukup besar untuk biaya
berobat. Namun, hal sama yang saya lihat, yakni klinik pengobatan swasta yang
mencantumkan pelayanan kesehatan menggunakan BPJS atau Askes juga ramai
‘pengunjung’. Sakit yang dialami beragam, namun poli yang menurut saya paling
ramai di rumah sakit daerah itu, yakni poli dalam untuk penyakit dalam, lalu
poli mata, poli anak, poli kandungan.
Apakah
hal ini juga terjadi pada negara yang kaya dan maju? Entah, saya belum tahu.
Selain kesehatan yang menjadi kendala, permasalahan lain yakni pendidikan. Rendahnya
pendidikan masyarakat Indonesia dan minat baca juga ‘nafsu’ untuk menjadi
pintar terkalahkan oleh ‘nafsu’ untuk mengisi perut, sehingga bekerja seakan lebih baik karena mendapatkan uang
untuk melanjutkan nafas daripada mengisi otak agar menjadi masyarakat yang
pintar dan berpikir modern. Terbukti dengan banyak anak yang lebih memilih
untuk memutuskan berhenti sekolah dan membantu orang tua dengan menjadi pekerja
agar tidak menjadi beban hidup walau dengan upah yang hanya cukup untuk mengisi
perut.
Saya
membayangkan dan berpikir, bagaima jika masyarakat pintar dan berpendidikan,
maka akan membawa mereka berlomba-lomba untuk menjadi kreatif. Tentu dengan
berpendidikan baik, individu akan tahu bagaimana menjaga kesehatannya, makanan
apa yang sebaiknya dikonsumsi dan bagaimana pola hidup sehat ditegakkan pada
dirinya sendiri. Itu yang saya bayangkan, masyarakat yang pintar dan sehat. Dua
faktor itu saja yang menurut saya penting untuk menggiring masyarakat agar
maju, agar terbebas dari kemiskinan. Yang saya benci yakni, fakta yang menampar
fantasi. Permasalahan yang ada sangatlah banyak, bahkan bercabang sedemikian
rupa hingga menjadi problem yang rimbun (hal ini sangat tidak bagus), situasi
politik yang tidak sehat, keegoisan para petinggi negara dengan melakukan KKN
yang menjadikan Indonesia malah mundur menjauh dari garis kemajuan, masyarakat
yang lebih memilih untuk menjadi pekerja daripada mencipta kerja karena tidak
adanya modal dan menjadikan lapangan kerja sedikit, angka kelahiran tinggi
dengan kasus kriminalitas yang sama tingginya.
Aduh,
menyedihkan sekali. Kebaikan apa yang akan saya sebutkan untuk mengurangi hal
buruk tersebut? harapan tinggal kepada generasi muda berpendidikan yang bervisi
untuk mengurangi kengerian yang terjadi, dan membawa kita sedikit demi sedikit
meraih kata maju dan menang. Semoga keegoisan para pejabat pemerintah berhenti
memberikan perih kepada masyarakat kecil dengan menghentikan korupsi, kolusi
maupun nepotisme. Apabila ingin melakukan pembenahan, baiknya dari sektor
pendidikan dan kesehatan terlebih dahulu.namun permasalahan sungguh kompleks. 2 faktor ini yang menurut saya vital dan urgent untuk dibenahi, lalu budaya, politik, dll