DINAMIKA UNSUR
KEBUDAYAAN
1. INTERNALISASI
Internalisasi merupakan, Proses panjang sejak seorang
individu dilahirkan sampai ia meninggal dunia, dimana ia menanamkan kadalam
kepribadiannya, segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang
hidupnya.
- 2. SOSIALISASI
Sosialisasi sebagai proses seorang individu dari masa
anak-anak sampai tua be ajar pola-pola, tindakan dalam interaksi dengan segala
macam individu disekeliingnya yang menduduki bermacam-macm status Dan
menjalankan berbagai peranan sosial.
- 3. ENKULTURASI
Dalam proses ini seorang individu mempelajari Dan
menyesuaikan alam pikiran Dan sikapnya dengan adat istiadat, norma-norma Dan
peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan.
- 4. AKULTURASI
Pertemuan antar kelompok manusia dengan kebudayaan
yang berbeda-beda tanpa mengakibatkan hilangnya kebudayaan itu sendiri.
- 5. ASIMILASI
Pertemuan antar kelompok manusia dengan kebudayaan
yang berbeda-beda yang akibatnya, kebudayaan dari kelompok manusia itu berubah
unsur Dan sifatnya sehingga menjadi kebudayaan campuran.
- 6. INOVASI
Inovasi berarti penemuan baru dalam teknologi manusia.
Inovasi dibedakan atas inovasi yang terjadi karena sengaja (invention) &
inovasi yang terjadi tanpa sengaja (discovery). Discovery adalah penemuan unsur
kebudayaan yang baru, baik berupa alat/gagasan. Discovery bisa menjadi
invention, jika masyarakat sudah mengakui, menerima, Dan memanfaatkannya hasil
temuan tersebut. Invention adalah proses munculnya suatu unsur-unsur kebudayaan
lama yang telah ada di masyarakat.
- 7. DIFUSI
Difusi adalah penyebaran kebudayaan/pengaruh dari
daerah ke daerah lain terjadi secara langsung. Difusi dapat terjadi dalam
masyarakat itu sendiri maupun antar masyarakat.
BAB I
PENDAHULUAN
Mengapa
kebudayaan berubah ? Menurut Haviland (1993a: 250-251) kemampuan berubah
merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa adanya kemampuan
itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah.
Semua kebudayaan pada suatu waktu pasti berubah karena bermacam-macam sebab,
salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan
yang bersifat adaptif. Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam
kebudayaan manusia. Tanpa perubahan, kebudayaan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan yang senantiasa berubah.
Koentjraningrat
(1990a: 89) melihat bahwa sejak lahirnya, Ilmu Sosiologi telah banyak
memperhatikan masalah perubahan kebudayaan. Pada abad ke-19 telah ada perhatian
terhadap kemajuan kebudayaan manusia, sehingga dengan demikian telah lahir pula
teori-teori tentang evolusi kebudayaan, yaitu perubahan kebudayaan
bangsa-bangsa di dunia, mulai dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai dengan
ke bentuk-bentuk yang semakin lama semakin kompleks. Pada masa menjelang Perang
Dunia II, yaitu masa sekitar tahun 1930 dan terutama pada waktu-waktu setelah
itu, diantara para ahli sosiologi telah timbul perhatian baru terhadap masalah
perubahan kebudayaan diantara berbagai bangsa di Afrika, Asia, Osenia, dan
Amerika.
Hal ini
disebabkan karena pengaruh sistem ekonomi, pendidikan, dan organisasi sosial
yang dibawa dari orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai penjajah
bangsa-bangsa tersebut. Namun, perhatian dan hasrat yang besar untuk melakukan
penelitian mengenai gejala perubahan kebudayaan oleh para ahli sosiologi
Ero-Amerika tersebut lebih didasarkan kepada timbulnya gejala peningkatan
kepandaian, kemampuan melawan sistem kolonialisme, dan kesadarna nasional
diantara bangsa-bangsa tersebut, yang menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup
bagi kolonialisme itu sendiri.
Sebuah
masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan
peranan-peranan dari para warganya, di mana peranan-peran tersebut dijalankan
sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara
peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya
terwujud sebagai pranata-pranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap
masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang
dimliki oleh masyarakat lainnya.
Kebudayaan
(mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b : 58-61) dilihat sebagai
: (1) pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku,
tetapi penggunaannya sebagai acuan adalah berbeda-beda menurut konteks
lingkungan kegiatannya; (2) Perangkat-perangkat pengetahuan dan kenyakinan yang
merupakan hasil interpretasi atau pedoman bagi kehidupan tersebut. Dan
kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu :
kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa, dan kebudayaan umum. Kebudayaan
nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga kota melalui
berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional.
Kebudayaan
kedua, adalah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan sukubangsa
fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari-hari di dalam suasana-suasana
sukubangsa, terutama dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan keluarga, dan
dalam berbagai hubungan sosial dan pribadi yang suasananya adalah suasana
sukubangsa.
Kebudayaan yang
ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakat kota adalah kebudayaan umum,
yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum muncul di dalam
dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu
secara spontan untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya,
kepentingan ekonomi, kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan
sosial.
Kebudayan umum
ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik
tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai
konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak
di tempat-tempat umum dalam kehidupan kota.
Kebudayaaan
merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan
semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur
seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada
perbedaan pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif.
Dewasa ini,
kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap
kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia
tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah
alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan
juga dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang
statis, bukan lagi "kata benda" tetapi "kata kerja”.
Konsep
kebudayaan telah diperluas dan didinamisasi, kendatipun secara akademik orang
sering membedakan antara kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada dasarnya
keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis. Sebab
kebudayaan sebagai wilayah akal budi manusia tidak hanya mengandung salah satu
aspek dari kegiatan manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban
merupakan dua sisi mata uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas.
Jika kebudayaan adalah aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi
realisasi aspirasi itu.
Berbicara
tentang perlindungan atau cagar kebudayaan, kita tidak boleh terjebak pada
pengertian kebudayaan sebagai sebuah subsistem hasil. apalagi yang semata-mata
bersifat fisik. Tetapi harus meliputi seluruh sistem kebudayaan. Upaya
pencagaran atau per!indungan atas sebuah .kebudayaan pun tidak boleh dilakukan
tanpa perhitungan. Diperlukan kriteria-kriteria tertentu yang dapat dipakai
sebagai suatu ukuran sejauh mana kebudayaan perlu atau tidak
dicagari. Setidaknya ada 3(tiga) kriteria yang dapat dijadikan ukuran yakni 1)
keadiluhungan, 2) kemapanan dan 3) kesejarahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep-Konsep Dinamika Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142)
semua konsep yang kita perlukan untuk menganalisa proses-proses pergeseran
masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai dinamika social. Beberapa konsep
tersebut antara lain sebagai berikut.
Proses belajar kebudayaan sendiri,
yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi;
Evolusi kebudayaan dan difusi;
Proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan
asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi;
Proses pembauran atau inovasi atau
penemuan baru.
Selanjutnya keempat konsep tersebut akan dibahas satu persatu di bawah ini.
2.2 Proses
Belajar Kebudayaan Sendiri
Proses
Internalisasi
Menurut Koentjaraningrat (1996:
142-143) proses internalisasi adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup
individu, yaitu mulai dari ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Sepanjang
hayatnya seorang individu terus belajar untuk mengolah segala perasaan, hasrat,
nafsu, dan emosi yang kemudian membentuk kepribadiannya.
Proses
Sosialisasi
Talcott Parson (dalam
Koentjaraningrat, 1996: 143-145) menggambarkan proses mengenai kebudayaan
sebagai bagian dari proses sosialisasi individu. Semua pola tindakan
individu-individu yang menempati berbagai kedudukan dalam msyarakatnya yang
dijumpai sesorang dalam kehidupannya sehari-hari semenjak ia dilahirkan,
dicerna olehnya sehingga individu tersebut pun akan menjadikan pola-pola
tindakan tersebut sebagai bagian dari kepribadiannya.
Oleh karena itu untuk dapat memahami
suatu kebudayaan, mengamati jalannya proses sosialisasi baku yang lazim dialami
sebagian besar individu dalam suatu kebudayaan merupakan sustu metode yang
sejak lama diminati oleh para ahli sosiologi
Proses Enkulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996:
145-147) proses enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran
serta sikap terhadap adapt, sistem norma, dan semua peraturan yang terdapat
dalam kebudayaan seseorang. Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan,
yaitu dalam lingkungan keluarga, dan kemudian dalam lingkungan yang semakin
lama semakin meluas.
Pada awalnya seorang anak kecil
mulai belajar dengan cara menirukan tingkah laku orang-orang yang berada di
sekitarnya, yang lama kelamaan menjadi pola yang mantap, dan norma yang
mengatur tingkah lakunya “dibudayakan”. Selain dalam lingkungan keluarga,
norma-norma tersebut dapat dipelajari dari pengalamannya bergaul dengan sesam
warga maysarakat dan secara formal di lingkungan sekolah.
2.3 Evolusi Kebudayaan
dan Difusi
Evolusi
Kebudayaan
Evolusi kebudayaan menurut
Koentjaraningrat (1996: 142) adalah proses perkembangan kebudayaan umat manusia
mulai dari bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana sampai yang semakin lama
semakin kompleks, yang dilanjutkan dengan proses difusi, yaitu penebaran
kebudayaan-kebudayaan yang terjadi bersamaan perpindahan bangsa-bangsa di muka
bumi ini.
Proses evolusi menurut
Koentjaraningrat (1996: 147) kebudayaan dapat dianalisis secara mikro maupun
secara makro. Proses kebudayaan yang dianalisis secara mikro (detail) dapat
memberikan gambaran mengenai berbagai proses yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari suatu masyarakat. Proses evolusi sosial-budaya secara makro adalah
proses yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang.
Di dalam Ilmu Sosiologi proses ini
hanya memperhatikan perubahan-perubahan besar yang terjadi.
Difusi menurut Haviland (1993a: 257)
difusi adalah penyebaran adapt atau kebiasaan dari kebudayaan yang satu ke
kebudayaan yang lain.
Menurut Koentjaraningrat (1996: 150)
Ilmu Paleoantropologi dapat memperkirakan bahwa makhluk manusia yang pertama
hidup di daerah Sabana beriklim tropis di Afrika Timur. Manusia pada saat ini
ternyata telah menduduki hampir seluruh muka bumi dengan berbagai jenis
lingkungan iklim yang berbeda-beda. Hal ini hanya dapat terjadi dengan proses
pengembangbiakan, migrasi, serta adaptasi fisik dan sosial budaya, yang telah
berlangsung salam beratus-ratus tahun lamanya.
Selanjutnya di katakan oleh
Koentjaraningrat bahwa migrasi dapat berlangsung lamban dan otomatis maupun
secara cepat dan mendadak. Migrasi yang lamban dan otomatis berkembang sejajar
dengan peningkatan jumlah umat manusia di dunia, yang konsekuensinya
membutuhkan daerah yang semakin lama semakin luas.
2.4 Proses
Pengenalan Unsur-Unsur Kebudayaan Asing
Akulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996: 155)
adalah istilah dalam sosiologi yang memiliki berbagai makna, yang kesemuanya
itu mencakup konsep mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok
manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan tersebut. Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah,
melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
Proses Akulturasi
Proses akulturasi, Koentjaraningrat
lebih lanjut menjelaskan bahwa proses akulturasi memang sudah terjadi sejak
zaman dulu kala, akan tetapi akulturasi dengan sifat yang khusus baru terjadi
ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa Eropa Barat mulai menyebar ke daerah-daerah
lain di muka bumi pada awal abad ke-15 dan mulai mempengaruhi
masyarakat-masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan
Amerika Latin.
G.M. Foster (dalam Koentjaraningrat
1990a: 97) meringkas proses akulturasi yang biasanya terjadi bila suatu
kebudayaan terkena kebudayaan asing bahwa :
Hampir semua proses akulturasi mulai
dari golongan atasan yang biasanya tinggal di kota, lalu menyebar ke
golongan-golongan yang lebih rendah di daerah pedesaan. Proses tersebut
biasanya di mulai dengan perubahan sosial-ekonomi.
Perubahan dalam sektor ekonomi hampi
seluruh menyebabkan perubahan yang penting dalam asas-asas kehidupam
kekerabatan.
Penanaman tanaman untuk ekspor dan
perkembangan ekonomi uang merusak pola gotong royong tradisional, dan karena
itu berkembanglah sistem pengerahan tenaga kerja yang baru.
Perkembangan sistem ekonomi utang
juga menyebabkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan makan dengan segala akibat
dengan aspek gizi, ekonomi, maupun sosialnya.
Proses akulturasi yang berkembang
cepat menyebabkan berbagai pergeseran sosial yang tidak seragam dalam semua
semua unsur dan sektor masyarakat, sehingga terjadi keretakan masyarakat.
Gerakan-gerakan nasionalisme juga
dapat dianggap sebagai salah satu tahap dalam proses akulturasi.
Kontra Akulturasi
Kontra akulturasi, menurut
Koentjaraningrat (1990a: 112) dalam suatu masyarakat yang terkena proses
akulturasi dan berada dalam transisi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan
masa kini, berikut segala ketegangan, konflik, dan kekacauan sosialnya, tentu
banyak individu atau golongan sosial yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan krisis seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan hidup
dalam suasana tegang yang terus menerus. Namun, mereka juga tidak suka dengan
pembaharuan, mereka itu adalah orang-orang “kolot”.
Golongan kolot dalam masyarakat yang
sedang mengalami transisi yang cukup kuat, mampu menyusun kekuatan untuk
menentang unsur-unsur baru dan menghentikan proses akulturasi untuk sementara
waktu.
Sebaliknya jika golongan ini tidak
kuat menghadapi proses akulturasi yang sudah sedemikian jauh, maka seringkali
mereka berusaha untuk menghindarinya. Mereka akan mencari kepuasan batin
seakan-akan menarik diri dari kehidupan masyarakat nyata, dan bersembunyi dalam
dunia kebatinan mereka, di mana mereka dapat memimpikan zaman kebahagiaan masa
lampau.
Fenomena ini adalah awal dari
gerakan kebatinan kontra-akulturasi, suatu gejala masyarakat yang timbul dalam
zaman transisi kebudayaan untuk menentang proses akulturasi.
Permasalahan Psikologi Dalam Proses
Akulturasi
Koentjaraningrat (1990a: 105-107)
menerangkan bahwa kita dapat mengerti bahwa perbedaan proses akulturasi dalam
sutu kebudayaan (yaitu akulturasi diferensial) juga dapat disebabkan karena
perbedaan kepribadian individu-individu dengan watak kolot, tetapi ada juga
yang berwatak progresif masalah sebab musabab yang telah mendalam mengenai
adanya individu yang lebih progresif dari yang lain, dan masalah bagaimana cara
merangsang agar individu-individu yang progresif dalam suatu masyarakat menjadi
lebih menonjol telah menjadi perhatian beberapa ahli sosiologi psikologi dari
Amerika.
Beberapa ahli sosiologi meragukan
adanya watak kolot atau watak progresif yang dapat mempengaruhi suatu proses
akulturasi dalam masyarakat, yang karena itu mengakibatkan gejala akulturasi
diferensial. Sifat yang kolot atau progresif tidak ditentukan oleh kepribadian
individu secara psikologi, tetapi oleh keadaan sosial di mana individu yang
bersangkutan itu berada.
Para ahli yang berpendirian demikian
berpendapat bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang bersifat kolot
adalah mereka yang sudah memiliki kedudukan yang baik dalam masyarakat. Mereka
tidak menyukai perubahan terjadi, karena dengan demikian keadaan yang baru akan
mengubah kedudukan yang sudah dimilikinya.
Sebaliknya individu yang progresif
adalah individu yang belum atau tidak memiliki kedudukan yang baik. Pendapat
ini pernah diuji oleh penelitian E. Vogt. Vogt meneliti 12 orang bekas pejuang
tentara Amerika Serikat yang berasal dari suku-suku Indian Navaho. Ke 12 orang
tersebut mempunyai latar belakang yang sama, mengalami pendidikan yang sama,
mempunyai pengalaman pertempuran yang sama pula. Akan tetapi sewaktu mereka
keluar dari tentara ada yang hidupnya kembali seperti dulu, menjadi penggembala
domba. Adapula yang hidupnya tidak teratur dan adapula beberapa yang telah
meninggalkan masyarakat Navaho dan mempunyai kedudukan di tengah-tengah
masyarakat orang bule.
Penelitian Vogt ini dilakukan dengan
menggunakan tes psikologi, dan berhasil menyimpulkan bahwa orang-orang Navaho
yang sebelumnya memiliki kehidupan yang memuaskan di tengah masyarakat Navaho,
kembali menjadi orang kolot, sedangkan mereka yang dulunya belum memiliki
kedudukan tetap, menjadi orang yang progresif atau menjadi kacau.
2. Asimilasi
Asimilasi menurut Koentjaraningrat
(1996: 160) adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan
manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul
secara insentif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan
golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran.
Biasanya suatu asimilasi terjadi
antara suatu golongan mayoritas dengan golongan minoritas. Dalam proses ini,
biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan
mayoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaan lambat laun berubah dan menyatu
dengan kebudayaan golongan mayoritas.
Dari berbagai proses asimilasi yang
pernah dikaji, diketahui bahwa pergaulan intensif saja seringkali belum tentu
mengakibatkan terjadinya suatu proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan
simpati antara kedua golongan tersebut. Contohnya adalah orang-orang Cina di
Indonesia, yang walaupun telah bergaul secara intensif dengan penduduk pribumi
secara berabad-abad, belum seluruhnya terintegrasi ke dalam msyarakat dan
kebudayaan Indonesia.
Sebaliknya, kurangnya toleransi dan
simpati terhadap suatu kebudayaan lain umumnya disebabkan karena berbagai
kendala, yaitu kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi,
kekhawatiran akan kekuatan yang dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan
bahwa kebudayaannya sendiri lebih unggul dari kebudayaan yang dihadapi.
2.5 Proses
Pembauran atau Inovasi atau Penemuan Baru
Inovasi adalah suatu proses
pembauran dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal serta penataan
kembali dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru, sehingga terbentuk
suatu sistem produksi baru dari produk-produk baru. Dengan demikian, inovasi
adalah pembauran unsur teknologi dan ekonomi dari kebudayaan (Koentjaraningrat,
1996: 161).
Selanjutnya dikatakan
Koentjaraningrat, bahwa suatu proses inovasi tentu berkaitan dengan penemuan
baru dalam teknologi yang biasanya merupakan suatu proses sosial yang bertahap
dari discovery (penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik
suatu alat atau gagasan baru dari seorang atau sejumlah individu) menuju invention.
Discovery baru dapat menjadi invention apabila suatu penemuan
baru telah diakui, diterima, dan diterapkan oleh suatu masyarakat.
Proses berlangsungnya tahap discovery
sampai pada tahap invention menurut Koentjaraningrat (1990: 109)
seringkali berlangsung lama dan kadang-kadang tidak hanya menyangkut satu
individu, yaitu si penciptanya yang pertama, melainkan dapat melibatkan
serangkaian individu yang terdiri dari beberapa pencipta.
Hal yang menjadi daya tarik bagi
para ahli sosiologi adalah faktor yang mendorong individu dalam suatu
masyarakat untuk memahami suatu upaya yang akan menuju ke suatu penemuan baru.
Barnett (dalam Koentjaraningrat, 1990: 109) mengajukan pendapat bahwa para individu
yang “tidak terpandang dalam masyarakat atau yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya” malah cenderung yang sering termotimavasi untuk
mengadakan pembaruan dalam kebudayaan, dan menjadi pendorong terjadinya suatu
penemuan baru yang kemudian terjadinya suatu inovasi.
Koentjaraningrat (1990: 109)
menambahkan bahwa untuk mendorong kreativitas diperlukan pula oleh tumbuhnya,
yaitu.
Kesadaran para individu akan adanya
kekurangan-kekurangan dalam kebudayaan mereka;
Mutu dari keahlian para individu
yang bersangkutan;
Adanya sistem perangsang dalam
masyarakat yang mendorong mutu;
Adanya krisis dalam masyarakat.
Haviland (1993a: 253) membagi
penemuan baru (discovery) menjadi dua, yaitu penemuan primer dan
penemuan sekunder. Penemuan primer adalah penemuan secara tidak sengaja
(kebetulan) suatu prinsip baru, sedangkan penemuan sekunder perbaikan-perbaikan
yang diadakan dengan menetapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui.
Sebuah contoh penemuan primer
sebagaimana yang diuraikan oleh Haviland (1993a: 255-256) adalah penemuan
pembakaran tanah liat yang membuat bahannya menjadi keras seterusnya. Dapat
diduga bahwa sering terjadi pembakaran tanah liat secara tidak sengaja dalam
api untuk memasak pada zaman dahulu. Akan tetapi, kejadian secara kebetulan
tersebut bukan suatu penemuan kalau orang tidak mengetahui bahwa penemuan itu
dapat diterapkan untuk suatu keperluan.
Kira-kira 25.000 tahun yang lalu
orang melihat cara penerapannya, sebab patung-patung kecil dibuat dengan tanah
yang dibakar. Akan tetapi, orang tidak membuat bejana tembikar, dan
rupa-rupanya penemuan tersebut tidak sampai ke Timur Tengah. Kalau terjadi, hal
tersebut tidak sampai berakar. Baru pada suatu waktu di antara 7.000 dan 6.500
tahun S.M. diketahui adanya penerapan pembakaran tanah liat di Timur Tengah
dengan dibuatnya wadah-wadah dan bejana untuk memasak, yang murah, awet, dan
mudah dibuat.
Rekonstruksi perkembangan
wadah-wadah yang tertua, yang telah diketahui terjadi sebagai berikut.
Menjelang 7.000 tahun S.M. dalam tempat memasak di Timur Tengah terdapat wadah
yang tepinya terbuat dari tanah liat, yang dibuat bersatu menjadi bagian dari
lantai, dan tungku serta perapian dari tanah liat. Dalam situasi yang demikian
itu terjadinya pembakaran tanah liat secara tidak sengaja tidak mungkin dapat
dihindarkan.
Pada zaman itu tanah liat juga
digunakan dalam pembangunan rumah, untuk membuat patung-patung kecil, dan untuk
membuat dinding lubang-lubang penyimpanan. Jadi, walaupun orang sudah biasa
bekerja dengan menggunakan tanah liat, tidak ada pembakaran untuk mebuat wadah
kecuali sebagai dinding lubang penyimpanan. Sebagai wadah, yang biasanya
digunakan adalah wadah dari batu, keranjang, atau kantong kulit.
Dengan demikian penemuan tembikar
sebagai penemuan primer, dalam proses penemuannya banyak dijumpai teknik-teknik
yang sudah dikenal atau diketahui sebelumnya, yaitu teknik atau cara pembakaran
tanah liat yang dipakai untuk keperluan selain tembikar. Dengan cara yang sudah
diketahui, maka tanah liat dapat dibentuk menjadi bentuk keranjang biasa,
bentuk kantong kulit, atau berbentuk seperti wadah batu dengan cara dibakar
dalam api terbuka atau di dalam tungku yang juga digunakan untuk memasak
makanan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Kebudayaaan merupakan kendapan dari
kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata sebagai
segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama,
kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada perbedaan
pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif.
Dewasa ini, kebudayaan diartikan
scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang
dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia tidak dapat hidup
begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga
dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang
statis, bukan lagi "kata benda" tetapi "kata kerja”.
Konsep kebudayaan telah diperluas
dan didinamisasi, kendatipun secara akademik orang sering membedakan antara
kebudayaan dan peradaban. Tetapi pada dasarnya keduanya menyatu dalam
pengertian kebudayaan secara luas dan dinamis. Sebab kebudayaan sebagai wilayah
akal budi manusia tidak hanya mengandung salah satu aspek dari kegiatan
manusia. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban merupakan dua sisi mata
uang yang sama dalam pengertian kebudayaan secara luas. Jika kebudayaan adalah
aspirasi peradabanlah bentuk konkret yang mewujud demi realisasi aspirasi itu.
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142)
semua konsep yang kita perlukan untuk menganalisa proses-proses pergeseran
masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai dinamika social. Beberapa konsep
tersebut antara lain sebagai berikut.
Proses belajar kebudayaan sendiri,
yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi;
Evolusi kebudayaan dan difusi;
Proses pengenalan unsur-unsur
kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi;
Proses pembauran atau inovasi atau
penemuan baru.
3.2 Saran
Pada proses pengenalan unsur-unsur
kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi. Sebaiknya kita harus
selektif dalam menerima setiap kebudayaan asing, sehingga kita dapat mengambil
kebudayaan asing yang bernilai positif bagi perkembangan bangsa dan negara dan
menolak setiap kebudayaan asing yang benilai negatif (seperti pergaulan bebas,
hedonisme, dll) yang dapat merusak moral bangsa dan negara.