LATAR BELAKANG
Perang Dingin ialah suatu konflik interstate (antar Negara Adidaya)
paska perang Dunia ke-II. Dengan aktor utamanya; Amerika Serikat dan sekutunya
melawan Uni Soviet dan sekutunya. Dikatakan sebagai Perang dingin, karena tidak
adanya deklarasi formal akan perang tersebut dan juga kontak senjata secara
langsung. Hanya merupakan perang urat syaraf antar keduanya. Adanya perbedaan National
Interest (kepentingan nasional); Demokrasi Liberal melawan Komunis. Dan
perbedaan ideologi seperti; Amerika Serikat menyusung prinsip Demokrasi Liberal
yang berdasarkan sistem sosial pada masyarakatnya dan sistem politik yang
bergantung kepada peran tiap-tiap individu dalam PEMILU serta sistem ekonomi,
kapitalis yang menyediakan kesempatan bagi tiap-tiap individu untuk
mengejar/memenuhi kebutuhan ekonomi dengan sedikit maupun banyak intervensi
dari Negara/pemerintah. Sedangkan Uni Soviet mengedepankan prinsip ideologi
komunisme sebagai sistem internasional dan tujuan Negara pada praktiknya.
Tujuan negaranya mencakup ideologi Marxisme dimana ada
konsep akan penguasan dengan Total Control oleh satu individu
(kaum borjuis) dalam memproduksi sesuatu dan memiliki Authority Power (wewenang
kekuasaan) dalam mengaturnya, serta perbedaan Geografis dan Politik (Containment
Policy). Diplomat dan ahli sejarah juga staf senior Departemen Kenegaraan
Amerika Serikat, George Kennan berpendapat;“ The Soviet Union would always
feel military insecurity, it would conduct an agreesive foreign policy“.
Pandangan tersebut diutarakan dengan melihat pendapat para Policy Makers
(pembuat keputusan) Amerika Serikat yang beranggapan bahwa Interest
(kepentingan) Amerika Serikat bergantung kepada Uni Soviet.
Perang Dingin yang dapat berkembang menjadi sebuah
malapetaka global, yang mungkin telah melibatkan penggunaan senjata nuklir.
Dominasi Uni Soviet dan Amerika Serikat terhadap para sekutunya
menyebabkan hubungan internasional sangat dipengaruhi kepentingan kedua negara
adidaya. Tidak mengherankan muncullah blok-blok aliansi yang lebih
didasarkan pada persamaan ideologis. Hampir semua langkah diplomatik
dipengaruhi oleh tema-tema ideologis yang kemudian dilengkapi dengan perangkat
militer. Pertentangan sistem hidup komunis dan liberal ini sedemikian
intensifnya sehingga pada akhirnya perlombaan senjata tak dapat dihindarkan
lagi karena dengan jalan menumpuk kekuatan nuklir itulah jalan terakhir
menyelamatkan ideologinya.
Globalisasi konflik, dengan munculnya; Pemblokadean
Tembok Berlin (1948-1949), Perang Korea (1950-1953), krisis misil Kuba (1962),
Perang Vietnam (1965-1973), dan Perang Afghanistan (1979). Disebagian belahan
Dunia lainnya tidak bereaksi secara langsung terhadap Perang Dingin yang hanya
memberikan influence (pengaruh) terhadap munculnya ideologi-ideologi
baru. Seperti halnya tokoh dari Cina Zhou Enlai telah lama hidup di Eropa pada
masa Perang Dingin. Dimana ia berkecimpung kedalam partai komunis. Sepulangnya
dia ke tanah air, bersama dengan koleganya. Mao Zedong mentransformasikan dan
menginterpretasikan kedalam bentuk baru dari paham komunis. Munculnya paham
tersebut berawal dari kemenangan Partai Komunis Cina dalam konflik politik di
Cina.
1
Pada tahun 1923, Partai Komunis Cina (pimpinan Mao
Zedong), beraliansi dengan partai Kuomintang (pimpinan Sun Yat Sen). Tidak
berlangsung lama aliansi tersebut pecah menjadi suatu Perang Sudara yang tak
terelakkan. Pada tahun 1949, Perang Saudara antara keduanya berakhir. Pada 1
oktober 1949, Mao Zedong memproklamirkan kemerdekaan Republik Rakyat Cina.
Partai Komunis Cina menjadi pemegang mandat pemerintahan. Berdirinya RRC diakui
oleh Uni Soviet dan Negara-negara komunis lainnya. Beberapa Negara yang tidak
menganut paham komunis pun turut mengakuinya, seperti: India, Inggris, Perancis
dll. Sebaliknya Amerika Serikat tidak mau mengakui keadaulatan wilayah Cina dan
hanya mendukung permerintahan Republik Nasionalis Cina pimpinan Chiang Khai
Shek di Taiwan secara aklamasi, karena mengedepankan format ideologi demokrasi
yang serupa dengan Amerika Serikat. Bahkan, Amerika Serikat pun menentang
keberadaan RRC di PBB.
Berakhirnya Perang Dingin itu sendiri berdasarkan
berbagai faktor, seperti; pengaruh dari kepemimpinan Mikhail Gorbachev yang
dapat membina hubungan baik dengan Amerika Serikat. Dan pengunduran dirinya
pada tahun 1991, membuat Uni Soviet pecah. Dan pada tahun 1992-1993 Rusia dan
Negara pecahan Uni Soviet menjadi Negara-negara independen. Menurut buku yang
dikeluarkan oleh Francis Fukuyama: “Kapitalis Win“ dan adanya pandangan; “The
end of evil empire “, yaitu suatu Arm race (keunggulan militer) yang
dimenangi Amerika Serikat. Dari sisi ekonomi melihat perlunya suatu
ongkos/biaya dengan jumlah uang yang banyak. Dengan demikian hanya pihak
Amerika Serikat yang mampu menjangkaunya. Kemudian adanya New World Order;
Unipolarity pada sistem internasional yang dijalankan oleh George W.
Bush (Amerika Serikat).[ii]
Keterlibatan RRC dalam kemunculan
Perang Dunia berawal saat naiknya Mao Zedong dalam kepemimpinan Cina menimbulkan efek
yang signifikan dalam praktek politik perimbangan kekuatan antara 2 Negara
adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pengaruh dari sosok Mao Zedong yang
sangat signifikan, baik terhadap Negara Cina dan Negara lainnya. Di Cina ia
mentransformasikan 1 milyar orang dengan cara menghapuskan sistem sosial
lama/tradisional, seperti; Landlord (tuan tanah). Ia juga menaikan taraf
hidup dengan ditingkatkannya pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dan bahkan ia
juga melenyapkan nyawa 1 milyar orang.
2
PEMBAHASAN
Dari perspektif kekuatan militer dan persenjataan, RRC
mulai mengembangkan proyek teknologi persenjataan nuklirnya sejak 1957. Proyek
tersebut dibangun dengan bantuan Uni Soviet dalam pembiayaan dan asisten
teknologi. Pengembangan teknologi persenjataan di Cina dapat dilihat dalam
argumentasi bahwa dalam kajian Perang Dingin, konsep self help dan state
survival hanya dapat dicapai dengan meningkatkan unsur power suatu
negara. Bahkan, pembangunan angkatan bersenjata ini menjadikannya sebagai
negara kelima di dunia yang mampu membuat bom atom pada 1964. Self help
adalah pandangan bahwa kekuatan negara tidak dapat diandalkan dari adanya
proses aliansi, tetapi harus dibangun secara mandiri. State survival
adalah prinsip yang menekankan pentingnya menciptakan ketahanan negara. Power
adalah prinsip yang menekankan pentingnya pengembangan teknologi persenjataan
seoptimal mungkin yang memunculkan efek deterrence (penangkalan) bagi
negara lain untuk menyerang negara yang bersangkutan.
Dalam konteks Cina, pembangunan teknologi persenjataan
yang didukung Uni Soviet telah membuat Amerika Serikat memperhitungkan kekuatan
Cina sebagai salah satu potensi ancaman bagi Blok Barat atau setidaknya
kekuatan yang seimbang. Dalam konstelasi Perang Dingin, Cina secara geopolitik dan
geostrategis memiliki 2 keuntungan dalam pertarungan ideologi:
- Pertama, Cina menjadi negara potensial sebagai
target perluasan pengaruh ideologi dari kedua negara adikuasa sekaligus
berperan sebagai kekuatan sentral dari ideologi yang dimenangkan dalam
pertarungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
- Kedua, posisi geografis Cina yang strategis menjadi
keuntungan tersendiri bagi kedua negara adidaya dalam menyebarluaskan ideologi
masing-masing di kawasan Asia Tengah dan Asia Tenggara, terutama dalam
efisiensi penyebaran masing-masing ideologi ke wilayah sekitarnya.
Perang Dingin yang tadinya dicirikan oleh ketegangan
antara kedua contending superpowers - Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Namun posisi Mao dari Cina dalam Perang Dingin, merupakan kunci
dalam banyak hal, tetapi tidak sekeliling pusat. Pengamatan yang dilakukan oleh
para ilmuwan politik Andrew J. Nathan dan Robert S. Ross membuat pikiran sehat:
"Selama Perang Dingin, Cina adalah satu-satunya negara besar yang
berdiri di persimpangan dari dua kekuatan kamp, sebuah target untuk
mempengaruhi dan permusuhan keduanya". Dengan jumlah penduduk terbesar
dan menduduki wilayah yang ketiga terbesar di dunia, Cina merupakan faktor
kekuatan yang tidak dapat diabaikan.
Pada akhir tahun 1940-an dan awal 1950-an, ketika Mao
dari Cina memasuki aliansi strategis dengan Uni Soviet, Amerika Serikat segera
merasa terancam dengan serius. Offensives dihadapi oleh negara-negara
komunis dan revolusioner/radikal nasionalis kekuatan di Asia Timur. Pada akhir
tahun 1960-an dan awal 1970-an, situasi berikut dikembalikan sepenuhnya split
antara Cina dengan Uni Soviet dan penyesuaian dengan Amerika Serikat.
Sebagai hasil dari harus menghadapi Barat dan China secara bersamaan, Uni
Soviet dan kekuatan overextended, timbulah kontribusi yang signifikan
pada akhir dari runtuhnya kekaisaran Soviet pada akhir tahun 1980-an dan awal
1990-an.
3
Munculnya Mao dari Cina sebagai negara yang unik
revolusioner pada akhir tahun 1940-an juga mengubah orientasi dari Perang
Dingin dengan pergeseran yang sebenarnya dari Eropa ke Asia Timur, karena
ternyata akan membuat Asia Timur menjadi kawasan utama dari Perang Dingin,
sementara pada saat yang bersamaan, akan membantu Perang Dingin untuk tetap
menjadi "dingin".
Bila revolusi Komunis Cina nasional mencapai
kemenangan pada tahun 1949, secara global di Perang Dingin adalah jeda penting.
Dua kejadian penting di pemblokadean tembok Berlin 1948-1949 dan Uni Soviet
berhasil menguji sebuah bom atom pada Agustus 1949. Keduanya digabungkan untuk
mengajukan tantangan yang serius kepada dua superpowers. Terhadap latar
belakang ini, Moskow memiliki visi berpaling ke Asia Timur. Pada Juni-Agustus
1949, pada malam kemenangan bagi revolusi Komunis Cina, pemimpin nomor dua dari
Partai Komunis Cina (ccp), Liu Shaoqi, diam-diam berkunjung ke Moskow untuk
bertemu dengan Joseph Stalin.
Kedua pemimpin menyimpulkan bahwa "situasi
revolusioner" sekarang ada di Asia Timur. Dalam kesepakatan mengenai
"pembagian kerja" antara Cina dan Uni Soviet revolusi komunis untuk
perdagangan dunia, sedangkan mereka memutuskan bahwa Uni Soviet akan tetap
menjadi pusat internasional proletar (buruh) revolusi. Pelaksanaan
perjanjian ini mengakibatkan Cina memberikan dukungan untuk Ho Chi Minh di
Vietnam, dan pada bulan Oktober 1950, intervensi besar-besaran dalam Perang
Korea, membuat Mao dari Cina memerangi imperialis AS. Sepanjang tahun 1950-an
dan 1960-an, Asia Timur tetap menjadi fokus utama dari Perang Dingin. Sementara
itu Cina ,memainkan role play (peran sentral) yang signifikan pada saat
krisis selat Taiwan (1954-1955, 1958, 1995-1996) dan Perang Vietnam (1979).
Perang Dingin di Asia meluas setelah RRC berusaha
melaksanakan politik luar negeri yang ekspansif. Hal ini dikarenakan Mao Zedong
berusaha menjadikan RRC sebagai negara terkuat di Asia dan juga menyebarkan
revolusi ala Mao kepada negara-negara berkembang. Dengan melihat School of
Thought (pendekatan dalam ilmu Hubungan Internasional) melalui aliran
Behavioralisme, yaitu memahami perilaku internasional dan sistem internasional.
Dalam konteks Perang Dingin menurut Richard Snyder dan Morton Kaplan; “banyak
faktor yang mempengaruhi perilaku suatu Negara; diantaranya lingkungan domestik
dari suatu Negara tersebut”. Pendudukannya atas Tibet pada 1950,
keterlibatannya dalam Perang Korea (1950-1953), serta klaimnya atas Taiwan
tidak hanya mengkhawatirkan negara-negara Barat, tetapi juga Uni Soviet.[iv]
Perjanjian Cina-Uni Soviet tahun 1950 mengenai bantuan Uni Soviet kepada Cina
ternyata tidak berlangsung lama. Penyebabnya, terjadi perbedaan interpretasi
antara pemimpin RRC (Mao) dan pemimpin Uni Soviet (Stalin dan Khruzchev). Dalam
menentang Uni Soviet, Mao menganggap bahwa model komunis RRC lebih baik dan
lebih murni dibandingkan dengan komunis Uni Soviet. Oleh karena itu, komunis
RRC lebih pantas untuk memimpin komunisme di seluruh dunia.
Pada masa kepemimpinan Stalin, hubungan RRC dan Uni
Soviet sebenarnya sangat erat, karena kedua negara tersebut menganut paham
sosialis-komunis. Strategi aliansi yang diterapkan Uni Soviet dengan
menggandeng RRC tahun 1949-1950 menjadi salah satu faktor penyebab kemunculan
poros barat-timur dalam Perang Dingin. Selain RRC, poros timur di kawasan Asia
juga diwakili oleh Vietnam, Korea Utara, Laos, dan Kamboja.
4
Dalam hal strategi, hal tersebut menjadi sebuah
ancaman serius bagi sebuah kepentingan ekonomi, politik, dan penyebaran
ideologi demokrasi liberal Amerika Serikat. Strategi aliansi Mao ini memaksa
Amerika Serikat memfokuskan perhatiannya kepada 2 hal, yakni perkembangan
ideologi komunis di Eropa Timur dan RRC. Aliansi kekuatan Uni Soviet dan Cina
kemudian menjadi parameter atas melebarnya ruang lingkup Perang Dingin dari
kawasan Eropa ke Asia. Akibatnya, penanaman pengaruh militer dan pertahanan
Amerika Serikat di kawasan Asia pun menjadi semakin kuat. Parameternya terdapat
pada pemberian bantuan militer dan persenjataan Amerika Serikat di Vietnam
Selatan dan Korea Selatan. Setelah Stalin wafat pada 1955, hubungan Uni Soviet
dan RRC merenggang. Hal ini terjadi karena Uni Soviet di bawah Khruzchev
bersikap terlalu lunak dan kompromi terhadap Amerika Serikat. Sikap Khruzchev
tersebut oleh Mao Zedong dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Revolusi
Komunisme Internasional. Pertentangan memuncak ketika terjadi sengketa
perbatasan antara 2 negara komunis tersebut.
Bagi Uni Soviet, Manchuria merupakan daerah strategis,
tetapi Mao berusaha mengambil alihnya. Sementara itu, Mongolia yang berstatus
negara merdeka dimasukkan ke dalam wilayah Uni Soviet sebagai pengganti
Manchuria. Selain itu, Uni Soviet pun menjalin kerja sama dengan Korea Utara
mengakibatkan hubungan Uni Soviet dan RRC semakin panas. Uni Soviet kemudian menempatkan
sekitar satu juta tentara angkatan darat dan udara lengkap dengan persenjataan
ofensif termasuk senjata nuklir di seluruh daerah garis perbatasan dengan RRC
(Tibet, Singkiang, Mongolia, dan Manchuria). Sementara itu, di Asia Tenggara,
Uni Soviet memperkuat kedudukannya dengan memberi bantuan kepada Vietnam untuk
membendung RRC di bagian selatan. Keadaan tersebut menyebabkan RRC merasa
terkepung dan segera meningkatkan pertahanan militernya.
Menteri Luar Negeri Cina, Zhou Enlai, berhasil
mempengaruhi beberapa negara tetangga agar memihak kepada Cina. Pangeran
Sihanouk dari Kamboja direkrut. Tak hanya itu, Indo-Cina yang ditinggalkan oleh
Amerika Serikat juga didekati. Sejak 1970-an, Perang Dingin antara Cina dan
Amerika Serikat mereda setelah terjadi pendekatan oleh kedua belah pihak.
Penyebabnya, RRC melihat bahwa Uni Soviet lebih berbahaya dibandingkan Amerika
Serikat. Oleh karena itu, RRC berusaha menjalin hubungan baik dengan Amerika
Serikat. Maka, pada Februari 1972, ketika Presiden Amerika Serikat, Richard M.
Nixon menawarkan kunjungan ke Peking, Menlu Zhou Enlai menerimanya. Kunjungan
ini juga diikuti oleh Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Bagi Uni Soviet,
kunjungan ini adalah upaya kedua negara mengancam kepentingan Uni Soviet di
Asia. Kunjungan persahabatan itupun menciutkan nyali dari Uni Soviet
untuk menyerang RRC.
Hubungan RRC dan Uni Soviet tak kunjung membaik. Paska
wafatnya Mao Zedong pada tahun 1976 pelaksanaan pemerintahan dalam negeri RRC
sendiri dilakukan oleh Deng Xiao Ping (pengganti Mao), yang giat membersihkan
aparaturnya dari pengaruh pemerintahan lama. Pada masanya, banyak partai yang
menyebut dirinya Maois lenyap, namun berbagai kelompok komunis di seluruh
dunia, khususnya yang bersenjata seperti Partai Komunis India, Partai Komunis
Nepal, dan Tentara
Rakyat Baru di Filipina, terus
mengembangkan gagasan Maois dan memperoleh perhatian pers. Kelompok-kelompok
ini biasanya berpendapat bahwa gagasan Mao telah dikhianati sebelum diterapkan
dengan semestinya.
5
Deng Xiao Ping sendiri memberikan banyak kontribusi
dalam menjalankan roda pemerintahan. Policy (kebijakan) yang terealisasi antara
lain menurunkan tingkat perkembangan populasi, menaikan standar pendidikan dan
menjalin hubungan baik dengan Negara – Negara Barat. Akan tetapi kinerja dari
Deng Xiao Ping tercoreng pada saat peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen.
KESIMPULAN
Dampak dari Perang Dingin, pada dasarnya munculnya
Cina sebagai negara yang revolusioner dramatis meningkatkan persepsi dari
perang dingin sebagai peperangan antara "baik" dan "jahat"
di kedua belah pihak, sehingga konflik secara lebih eksplisit yang terbingkai
oleh persepsi akan perbedaan ideologis. Mao Zedong muncul sebagai aktor utama
pelaksana Politik Luar Negeri Cina dengan buah pemikiran barunya akan paham
kominisme yang revolusioner dengan menyatukan berbagai filsafat kuno Tiongkok
dengan Marxisme yang dikenal dengan Maoisme. Pada masa naiknya Mao Zedong,
merupakan era baru dimana lahir dan munculnya ideologi yang cenderung
memberikan banyak pengaruh dalam kancah politik Internasional baik dalam
penyebaran maupun perluasan ideologi komunis (maois) ala Mao Zedong. Pada
Januari 1958, Mao Zedong meluncurkan repelita ke-2 yang dikenal sebagai Great
Leap Forward, rencananya dimaksudkan sebagai model alternatif pertumbuhan
ekonomi dari model Uni Soviet yang berfokus kepada industri berat. Kemudian Mao
meluncurkan revolusi kebudayaan pada tahun 1966. Revolusi tersebut menyebabkan
kekacauan sosial dan banyak dari warisan budaya Cina rusak.
Pengaruh yang diberikannya menjadikan Cina sebagai
suatu Negara yang harus diperhitungkan. Dengan demikian Mao dari Cina memiliki
bahasa dan teorinya sendiri akan nilai-nilai dan kode perilaku mengenai
kebijakan eksternal yang revolusioner dan merupakan fitur dari kebijakan
luar negeri Cina, dengan kenyataan bahwa Perang Dingin yang sebenarnya kawasan
Eropa turun sebagai pusat politik internasional. Akan tetapi dengan
penekanannya adalah pergeseran dari Eropa ke Asia Timur. Aliansi Cina dengan
Uni Soviet merupakan salah satu pemicu munculnya Blok Barat dan Blok Timur.
Dengan keterlibatan Cina pada saat berlangsungnya Perang Dingin, mangantarkan
Cina berhadapan langsung dengan Amerika Serikat. Pemberian dukungan terhadap Ho
Chi Minh di Vietnam yang berujung kepada Perang Vietnam. Kemudian intervensi
pada saat Perang Korea, yang pernah membuat nilai karet Indonesia melejit harganya.
Hingga peperangannya dengan Taiwan dalam halnya perebutan kekuasaan dan
kedaulatan. Meskipun Mao Zedong telah membuat kesalahan yang serius pada akhir
hayatnya, dilihat dari segala aspek kehidupan Mao telah berhasil untuk
merevolusikan Cina yang dianggap primer, sedangkan kesalahannya dianggap
sekunder. Banyak masyarakat Cina saat ini menghormatinya.
Lain halnya dengan Negara Indonesia, masa kepemimpinan
Soekarno, ideologi/paham komunisme sempat menyebar luas di tanah air. Akan
tetapi tidak berlangsung lama, karena adanya interpretasi yang berbeda akan
paham komunisme. Dengan penduduk mayoritas beragama islam, ialah merupakan
salah satu faktor penolakan terhadap ideologi komunisme.
6
Dengan demikian pengaruh dan penyebaran ideologi
komunisme hanya menghasilkan beberapa pemberontakan di Indonesia seperti; G 30
SPKI. Dalam penyebarannya sebelum imperialis Amerika Serikat dapat menyerang
Uni Soviet, menurut Mao, mereka terlebih dahulu harus mengontrol antara zona
(kawasan), sehingga Asia menjadi pusat arena perang dingin.
Ketika Mao dan CCP merebut kekuasaan politik di Cina,
mereka segera menyatakan bahwa akan merevolusioner Cina, sebagai sekutu alami
dari "orang-orang tertindas”. Kekuatan komunisme di Asia semakin besar
seiring menguatnya posisi Partai Komunis Cina dalam struktur pemerintahan Cina.
Kekuasaan Partai Komunis Cina membuat pemerintah RRC tetap memberlakukan
prinsip-prinsip dasar ideologi komunis sebagai dasar negara Cina. Hal itu
diterapkan secara konsisten hingga saat ini. Hubungan Amerika Serikat dengan
Cina pada masa sekarang ini semakin membesar dengan adanya hubungan ekonomi
yang menjadi landasan kuat bagi kedua Negara untuk memperdalam hubungan
kemakmuran, yang tujuan utamanya tidak lain adalah untuk meningkatkan
kemakmuran. Hubungan ekonomi ini akan terus mengubah paradigma lama pemikiran
Amerika Serikat, yang pernah merencanakan serangan nuklir kepada Cina.
Faktor Taiwan menjadi pengganjal utama dalam rangka
normalisasi hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan Cina. Karena masalah Taiwan
merupakan suatu duri dalam hubungan Amerika Serikat dengan Cina untuk sekian
lama. Amerika Serikat menarik diri dari pertahanan Amerika Serikat dengan Cina,
yang isinya membatasi penjualan senjata ke Taiwan dan meminta penarikan pasukan
Amerika Serikat dari Taiwan. Taiwan bukan saja penerima bantuan, tetapi juga
menjadi basis kekuatan militer Amerika Serikat.
Jika pada masa Perang Dingin isu-isu ideologis dan
militer sangat dominan. Hampir semua hubungan antar bangsa diterjemahkan
kedalam konteks perang ideologi.Pada era paska Perang Dingin, tema-tema
ideologis menyurut. Sebagai gantinya muncul isu-isu seperti hak asasi manusia,
politik-ekonomi dan demokratisasi sebagai salah satu indikator yang menentukan
hubungan internasional. Pada paska Perang Dingin munculah isu-isu multirateral
baru yang bersifat Non Konvensional seperti; Drugs (narkoba), Energi,
HAM, Lingkungan, Pangan, Perpindahan Penduduk, dan Teknologi. Isu – isu
tersebut merupakan ancaman bagi keamanan dan ketahanan nasional suatu Nation
State (Negara Bangsa). Dalam kaitannya saat ini penyebaran akan senjata
konvensional oleh Amerika Serikat dan juga Rusia merupakan Negara pembuat dan
pemasok senjata terbesar.
Teori menurut Barry Buzan mengenai “Arms Dynamic In
World Politics”. Dimana proses akan Arms Race (keunggulan militer)
antar ke dua negara tersebut kini juga melibatkan Negara Cina sebagai aktor
yang memainkan peranan signifikan dalam hal dinamika persenjataan. Banyak
Negara maju dan berkembang lainnya, seperti Indonesia ikut meramaikan industri
persenjataan. Posisi bagi Negara Cina pada saat berlangsung dan berakhirnya
Perang Dingin. Merupakan momentum dimana lahirnya dan muncul suatu Negara
revolusioner yang notabene menjadi Negara maju. Dalam proses pencapaiannya
tidak terlepas peranan dari sosok Political Leader (Presiden, Raja, Perdana
Menteri) yang berkuasa dan juga cenderung memberikan pengaruh dalam menjalankan
pemerintahan. Dan Cina sebagai Negara Superpower ke – III pada masa
Perang dingin, hingga kini menjadi kuat dan semakin kuat diberbagai bidang dan
aspek kehidupan.